Saya yakin ketika kecil orang-orang seperti Annisa punya rencana. Mungkin rencana itu melibatkan rumah impian yang dibeli dari hasil kerja keras sendiri. Mungkin rencana itu melibatkan perjalanan menembus perbatasan semu antar benua. Atau mungkin rencana itu sesederhana bisa mengakhiri hari dengan secangkir teh di tangan dan hembusan angin yang jinak, dalam keadaan baik-baik saja.
Saya tidak tahu kapan rencana itu mulai berantakan untuk Annisa. Ceritanya tentang masa silam selalu berupa fragmen. Boleh jadi, ia tahu sisi gelapnya bukan musuh yang sudah berhasil ia taklukkan, melainkan monster yang sementara ia kerangkeng di kandang. Sekali pintu itu dibuka, ia tidak bisa mengendalikan apa yang tumpah keluar.
Maka ia memilih jalan lain. Setiap saya menemui Annisa, ia sedang berdansa atau tertawa.
Ia sedang tertawa ketika saya menyampaikan bahwa pesawat saya dari Jogja ke Jakarta dibatalkan, sehingga dia punya waktu untuk mengantarkan hadiah yang ia bikin dadakan semalam. Rupanya totebag mungil, berisi zine terbaru buatannya dan stiker-stiker berkilauan. Ia sedang berdansa ketika saya menemuinya beberapa bulan kemudian di Jakarta, saat remix rancak sebuah lagu New Order membuatnya bangkit dari kursi bar dan memutus gosip kami tentang rekan kerjanya.
Sesuatu selalu menginterupsi hidup orang-orang seperti Annisa. Bedanya, ia menerima interupsi itu dengan senang.
Saya tidak tahu kenapa saya berhenti berkabar dengannya setelah pandemi. Mungkin setelah saya melihat foto-foto pernikahannya, saya agak tenang karena tahu ia bahagia dengan laki-laki yang mengasihinya sebaik-baiknya. Teman saya selamat satu, pikir saya waktu itu. Tapi kenyataannya, sejuta hal terjadi sepanjang pandemi. Saya kehilangan teman. Kehilangan pekerjaan. Jatuh cinta. Putus cinta. Pergi berlayar. Pulang berlayar. Di antara semua itu, saya melupakan Annisa.
Seperti begitu banyak hal yang terjadi sebelum pandemi, ingatan tentang Annisa memudar dan lambat laun terasa seperti mimpi. Apakah kami benar-benar bertemu di anjungan bandara, sembilan tahun lalu? Apakah kami benar-benar berkumpul di Prawirotaman untuk merayakan peluncuran bukunya, tiga tahun kemudian? Apakah ia nyata, atau hanya kenangan hangat dari tidur yang kelewat pulas?
Saya memikirkan hal-hal ini, setelah mendapat kabar Annisa meninggal semalam.
Pertama, saya bertekad akan mengingat Annisa dan kawan-kawan lain yang hampir hilang sepenuhnya dari sanubari. Tetapi dalam iman saya, segalanya sementara dan upaya menggenggamnya adalah pekerjaan sia-sia. Tubuh ini bejana kosong, dan kehidupan kita berulang sampai pada perputaran yang tak terhingga.
Kenangan adalah guratan pasir yang tertoreh pada pantai. Kita tak dapat memilih mana yang tersapu ombak dan mana yang akan bertahan. Kita hanya dapat berada bersamanya semasa ia ada.
Kedua, bahwa kawan lama saya, satu-satunya orang yang ingin saya temui setelah kabar pagi ini, menyampaikan dalam sebuah lagu yang masih ia simpan rapat-rapat, bahwa terdapat perbedaan tipis antara “melawan lupa dan melayat luka…”
Ketiga, orang-orang seperti kami berpaling pada cara-cara tidak bijak untuk terluka. Mabuk kami tidak disangga minuman mahal. Pesta kami tidak berlangsung pada ruang-ruang aman. Kami seringkali tinggal di gang sempit dengan tetangga yang penuh curiga, bukan di rumah teduh dikelilingi teman-teman akrab.
Maka kesembuhan tidak datang dengan mudah. Menebus obat, menemui psikolog, meminta maaf pada teman, bersimpuh pada tempat ibadah, melapangkan dada pada nasib. Kami menempuh jalan berliku untuk berkenalan lagi dengan rasa damai. Saya menemukannya lewat samudra, kehilangan, dan lagu. Saya berdoa Annisa pun menemukan damai lewat gambar, cerita, dan orang-orang terkasih.
Keempat, sarung bantal favorit saya adalah kiriman lama dari Annisa. Salah satu produk awal dari toko kriya yang sempat ia bangun. Warnanya merah jambu, kilaunya sudah hampir pudar, dan puisinya terpampang pada kedua sisinya. Di sana tertulis keinginannya membawa kita “dalam satu kereta, dengan dua cangkir kopi, biskuit jahe, dan pipimu yang halus, melintasi planet-planet di hari Sabtu, lalu pulang pada hari Minggu.”
Sejak pertama ia kirim lebih dari lima tahun lalu, hampir saban malam saya tidur beralaskan bantal ini. Malam ini saya menghibur diri sendiri dengan memutuskan bahwa mungkin saya tidak pernah melupakannya. Saya hanya menganggap kehadiran kecil Annisa dalam hidup saya selumrah bernapas, sesederhana bangun, semudah bermimpi. Saya tidak pernah memanggilnya, karena saya tidak perlu memanggil sesuatu yang memang tak pernah meninggalkan saya.
Kelima, siang ini saya diingatkan oleh Anzi, juga teman lama saya, tentang pertemuan pertamanya dengan Annisa. Mereka berkenalan di bangsal rumah sakit setelah Anzi patah tulang akibat kecelakaan motor. Meski mereka belum hafal nama masing-masing, Annisa membasuh luka Anzi dan mengunjunginya berhari-hari.
Ingatan ini lekat dalam kepala Anzi. Untuk waktu yang singkat, mereka terikat dalam persahabatan yang dalam.
“Demi menghargai orang-orang yang telah membesarkan hati saya, saya memutuskan untuk tidak tersesat dalam kesedihan,” tulis Anzi, setelah Annisa meninggal. “Karena mereka, saya berpikir untuk hidup dengan baik dan menyebarkan kabar-kabar gembira. Saya berharap setiap orang yang berkabung atas kepergiannya juga terbasuh lukanya.”
—
Saya sedang memutar lagi kenangan-kenangan lama tentang Annisa dalam kepala saya, seperti gulungan film tua. Namun tak satu pun ingatan itu berupa hitam-putih dan muram. Malah semuanya bergejolak dengan sejuta warna. Yang tersisa dari satu dekade pertemanan kami hanya cerita-cerita gembira. Tidak ada tragedi. Tidak ada luka. Bahkan tidak ada kematian.
Mungkin lebih baik saya mengenangnya seperti ini. (*)
—
Untuk Annisa.
1992 — 2024