Pembaca yang budiman,
Kedua tokoh kita benar-benar ada. Saya berkenalan dengan mereka dalam dua kesempatan yang terpisah jarak ribuan kilometer dan jangka waktu tiga tahun.
Tulisan ini terinspirasi dari cerita hidup dan pergulatan batin yang mereka alami. Namun, saya memberi ruang bagi imajinasi dan kreativitas saya sendiri.
Oleh karena itu, jangan bayangkan tulisan ini adalah catatan fakta yang kering dan sepenuhnya tepat sasaran. Namun, ketahuilah: kisah ini nyata.
Rekaman berikut ini diambil sembari terbuai angin di hadapan makam Sebastião Gomes, di Pemakaman Santa Cruz, Dili. Bila Anda belum familiar dengan kisah muram di balik Pemakaman Santa Cruz serta kaitannya dengan penjajahan Timor Leste, saya anjurkan Anda meluangkan waktu sejenak untuk mencari tahu.
Dengarkan sembari membaca. Semoga berkenan.
Dari sahabatmu di kejauhan,
— Raka Ibrahim
8°43′57″S, 115°14′8″E
ETSON INGAT bagaimana angin tenggara tiba dari arah laut, sebelum menerjang kerumunan yang berdesakan di hadapan Palácio do Governo. Setiap orang yang letih bersembunyi di pegunungan dan terlalu lama gemetar di balik bangku-bangku gereja kini turun merayakan kemerdekaan di jalanan kota Dili. Ditempa terik matahari, bendera tanah air yang telah mereka perjuangkan dengan darah akhirnya berkibar bebas.
Etson ingat bagaimana perasaan haru bergejolak dalam dadanya. Kini ia dan orang-orang sekampungnya dapat berdiri tegak di antara bangsa-bangsa, sebagai sesama orang merdeka.
Ratusan kilometer jaraknya, angin yang sama menggegaskan kepergian pak Nengah dari rumah yang sudah ia bangun perlahan selama dua puluh tahun. Malam-malam panjang sebelum ia dan kampungnya terpaksa eksodus seolah melebur jadi satu kesatuan. Dalam benaknya, ia hanya dapat mengenang masa itu sebagai kegelapan yang tak kunjung putus.
Mulanya begini: satu per satu, pekerja peternakannya menghilang. Sebagian pamit pulang kampung dengan baik-baik, yang lainnya mengemas baju secara tergesa-gesa dan lenyap sebelum matahari pagi datang.
Sebentar saja peternakan luas itu berubah menjadi belantara lengang. Kemudian suara senapan mesin dan pekik amarah semakin terdengar dari kejauhan. Pengungsi dari desa-desa tetangga datang berduyun-duyun mencari suaka dari konflik. Jalur batu di luar kampung mereka disesaki oleh mobil tentara Indonesia yang mengebut menuju perbatasan, memangkas manusia dan hewan yang bercokol tak berdaya di tengah jalan.
Kematian telah lama bersemayam paksa dalam tubuh Timor Leste. Ketika ia enyah, seolah diterjang doa pengusir arwah, ia mencari kawan sebanyak-banyaknya.
Pak Nengah menyaksikan kehidupan yang ia bangun di sana dilucuti sepotong demi sepotong. Toko kelontong milik istrinya habis dibakar massa yang arak-arakan keliling kampung untuk mengamuk. Anak-anaknya putus sekolah setelah guru mereka bergabung dengan gerilyawan dan kepala sekolah mereka mengungsi ke luar kota. Bahkan motor kesayangannya hilang digondol orang.
Suatu malam, pak Nengah mendapati tiga orang yang tak ia kenali berkeliling di peternakannya, seperti sedang bertamasya.
“Siapa kalian?” tanya pak Nengah, dalam bahasa Tetun terbata-bata.
Mereka menyikut satu sama lain, sebelum salah satu dari mereka maju dengan seringai lebar. “Bapak orang Indonesia?”
Pak Nengah mengangguk, tak yakin.
Ketiga orang itu saling bertepuk pundak. “Nanti kalau bapak sudah pergi, peternakan ini buat saya.”
Kepergian orang-orang Indonesia dari Timor Leste diperingati dengan perayaan dan tangis. Di Lospalos, kampung Etson, mereka mabuk tuak sabu selama seminggu sambil menggemakan nama-nama orang yang telah tiada. Di Baucau, tempat petarung dan gerilyawan paling buas dilahirkan, mereka menyembelih kuda dan babi dalam perhelatan yang tak henti-henti. Nyanyian kidung menggema dari setiap gereja, dan kerumunan mahasiswa bersimpuh di hadapan makam Sebastião Gomes, berharap di alam baka sana ia dapat mendengar bahwa pengorbanannya tidak sia-sia.
Sedangkan pak Nengah terkatung-katung bersama pengungsi Indonesia lainnya, di atas kapal angkatan laut negara bekas penjajah yang terbirit-birit menuju Kupang, selagi Timor Leste terbakar di kejauhan. Api hasil memanggang orang bercampur-baur dengan debur ombak yang bangkit menerpa wajah.
Kemudian hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Darah terakhir para pejuang kemerdekaan kering dibasuh sungai-sungai, dan kampung transmigran Indonesia — seperti yang pernah ditinggali pak Nengah — telah kosong sepenuhnya. Etson dan teman-teman sekampungnya berangsur pulang dari suaka mereka di pegunungan. Setibanya di tempat yang pernah mereka kenali sebagai rumah, mereka menghitung kehilangan mereka sampai kehabisan jari tangan.
—
SETELAH PARA penghuni kampung transmigran di Timor Leste dievakuasi ke Indonesia, nasib mereka terlupakan di tengah gegap gempita sakaratul maut Orde Baru. Kita patut mengingat bahwa mereka tergoda untuk mengembara ke tanah orang lain, sebab yang menunggu mereka di kampung halaman sendiri hanyalah kemiskinan dan nestapa.
Di kampung asalnya di Bali Utara, pak Nengah hanya buruh tani kasta rendah yang tak punya masa depan. Ketika tawaran transmigrasi datang untuk ia dan teman-teman sekampungnya, mereka tidak ragu untuk pindah. Tujuan mereka adalah Timor Leste — yang kala itu masih dijajah Indonesia dan diberi nama Timor Timur.
Ada istilah Jawa untuk kegiatan mereka di Timor, istilah yang berulang kali didengar pak Nengah dari penjelasan birokrat-birokrat pemerintah yang ditugaskan mempersiapkan keberangkatannya: babat alas. Secara harfiah, istilah ini berarti menumpas atau membersihkan hutan. Tapi makna sesungguhnya adalah merintis sesuatu dari nol, mengawali sesuatu meski jalan ke depan belum pasti.
Imaji yang dihadirkan oleh istilah ini adalah kenyataan bagi para pengembara yang dulu mencari ruang hidup di tanah Jawi. Mereka dihadapkan pada belantara yang pekat, dan mesti merubuhkan hutan untuk mendirikan kampung baru.
Dipacu semangat babat alas, pak Nengah berangkat menuju Timor Leste pada tahun-tahun awal setelah pendudukan. Mereka menemukan padang rumput yang lapang, tetapi tidak ada belantara untuk dirubuhkan. Justru sebaliknya. Masing-masing dari mereka sudah dihibahkan sepetak tanah untuk digarap dan diberikan modal usaha yang memadai. Sebentar saja mereka dapat menyaingi, bahkan melampaui peternak-peternak pribumi yang hanya hidup dari hasil meramban.
Pak Nengah mengenang masa-masa ini dengan senyuman. Ia bekerja mati-matian, tapi ada hasilnya. Di Timor Leste, ia menikmati sesuatu yang selama ini tak pernah ia miliki: kesempatan untuk bertumbuh melampaui kungkungan kemiskinan, nasib, dan malapetaka.
Namun, dalam gelora mereka memangkas hutan, hal-hal ini luput dari jarak pandang pak Nengah dan transmigran lainnya.
Peternakan mereka berdiri di atas tanah adat yang dibebaslahankan oleh bedil dan mortar. Anak-anak mereka berbagi bangku sekolah dengan anak-anak Timor yang kini dipaksa bicara bahasa Indonesia. Toko mereka membanjiri pasar dengan barang dari Indonesia yang dikonsumsi dengan rakus oleh penduduk lokal.
Mereka mem-babat alas, memangkas hutan, menggundulkan padang rumput, dan meratakan rawa-rawa untuk dijadikan sawah sampai mereka menjadi pengusaha kecil yang sukses, selagi penduduk asli mesti puas menjadi buruh tani berupah rendah atau peternak yang terusir ke pegunungan terpencil.
Ketika Timor Leste resmi merdeka dan pasukan Indonesia menarik diri dari wilayah bekas jajahannya, dunia pak Nengah menyempit. Ia beserta diaspora Indonesia lainnya tahu ia tidak diinginkan di Timor Leste yang baru. Di mata orang-orang Timor Leste, dia tidak menggarap tanah hasil hibah. Dia sedang menduduki tanah hasil rampasan.
Para transmigran mesti pergi, meninggalkan harta benda dan segala yang telah mereka bangun selama dua dekade. Namun, apa yang menanti mereka di pengasingan? Kapal Angkatan Laut menjawab kegusaran mereka. Hanya bermodal baju dan tekad, pak Nengah beserta ratusan transmigran lainnya dilarikan ke Kupang, sebelum dipulangkan ramai-ramai ke tanah kelahiran mereka di Buleleng, Bali.
Setibanya di sana, pak Nengah serta ratusan bekas transmigran asal Bali Utara lainnya ditampung di kamp pengungsian yang sesak dan dijajah nyamuk. Mereka semua dibuai janji yang sama: bahwa pemerintah Indonesia akan mengkompensasi harta benda mereka yang tertinggal di Timor Leste. Dalam kasak kusuk, sebagian dari mereka bahkan percaya tentara Indonesia yang perkasa akan menyerang Timor Leste lagi. Mereka membayangkan bisa kembali ke bekas peternakan mereka dan melanjutkan pekerjaan mereka yang terbengkalai, seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Pak Nengah tahu semua itu hanya mimpi di siang bolong. Ia tahu ia tidak akan bisa pulang ke Timor Leste. Rumah yang ia bangun dengan tangannya sendiri, sawah yang ia bajak dari nol, bahkan koleksi pernak-pernik yang ia himpun dari perjalanannya keliling Timor. Semuanya sudah binasa — diminta kembali oleh tetangga-tetangganya orang Timor, orang-orang yang dulu ia anggap saudara setanah moyang.
Di Buleleng, pak Nengah hidup dalam ketidakpastian. Janji pemerintah digantang di hadapan mereka sampai kedaluwarsa. Selama setahun, para bekas transmigran membusuk di kamp pengungsian. Amarah mereka naik hingga pekat seleher, sampai suatu ketika kericuhan pecah.
Polisi harus turun untuk memecah kerumunan. Perwakilan pemerintah provinsi setuju untuk naik banding. Mereka berunding hingga muncul suatu kesepakatan: pemerintah provinsi Bali akan menghibahkan mereka sepetak tanah di utara Bali untuk mereka garap dan jadikan kampung. Sumringah, rombongan pak Nengah berangkat menuju tanah baru ini dengan menumpang truk dan mobil bak.
Anak-anak para bekas transmigran berceloteh dengan riang, membayangkan tanah lapang yang serupa dengan rumah mereka di Timor Leste dulu. Tetapi orang-orang seperti pak Nengah, anggota angkatan pertama transmigran ke Timor, berangkat dengan kepala tertunduk. Ketika mobil bak membawa mereka melewati bekas kampung leluhur mereka di Buleleng, mereka tidak tega membuka mata. Dua dekade lalu, mereka meninggalkan Bali sebagai orang-orang yang melarat dan tak punya apa-apa. Sekarang, mereka kembali dalam keadaan persis sama.
Kemudian konvoi mereka berhenti. Jalanan aspal berubah menjadi hamparan debu. Mobil bak yang membawa mereka tak berani melangkah lebih jauh. Celotehan para transmigran dan keluarganya membangunkan tidur pak Nengah. Ia disambut pemandangan kanopi pohon yang ketat, sulur yang turun merajah tanah, dan pesisir penuh karang yang memanjang sampai cakrawala. Salah satu supir truk turun dari singgasananya dan memberitahu mereka bahwa inilah tujuan mereka. Inilah tanah yang dihibahkan pemerintah Bali kepada mereka.
Diam-diam, pak Nengah mengumpat.
Malam itu, mereka mengumpulkan kayu bakar seadanya dan menggigil di sekitar api unggun. Sarung dan kain dibentangkan sebagai atap atau disampirkan pada tubuh sebagai penawar cuaca dingin. Tiga orang warga mengajukan diri sebagai pandu, dan seharian mengelilingi wilayah itu untuk mencari perkampungan atau jalanan terdekat. Mereka tidak menemukan apa-apa. Prasangka terburuk pak Nengah terbukti. Mereka terdampar di tengah hutan belantara.
Tidur pak Nengah tak nyenyak, diganggu bayang-bayang yang tiba silih berganti dalam bawah sadarnya. Ia menduga bayang-bayang itu adalah arwah leluhurnya, menegur anak hilang yang menelantarkan mereka, tapi kini meminta pertolongan. Ada rasa getir yang mencekik leher pak Nengah, sebab perjuangannya selama ini sia-sia. Meski istrinya tetap mendekapnya erat dan anak-anaknya tertidur lelap beralaskan tikar, ia bangun dalam keadaan risau.
Pagi-pagi buta, saat rombongannya masih terlelap, pak Nengah menghampiri pohon terdekat dengan kapak di tangan. Ia mengingat kembali peternakannya di Timor Leste, rumah kayu sederhana yang ia bangun susah payah, dan sawah hasil garapannya yang setiap tahun menghasilkan beras dan sayur-mayur.
Ia membayangkan semua itu terwujud lagi di sini, meski di depannya hanya ada belantara dan ranting-ranting jatuh yang meminta untuk dibakar.
Pak Nengah menghujamkan kapak pada pohon itu dan merapalkan doa kepada leluhurnya. Ia akan babat alas sekali lagi.
—
ORANG TUA ETSON menyimpan daftar panjang nama-nama orang — keluarga, kenalan, kemenakan — yang putus kontak selama gejolak konflik kemerdekaan Timor Leste. Sebagian berhasil pulang, dan disambut dengan reuni mengharukan dan guyuran tuak. Namun banyak juga yang selamanya tinggal nama.
Tak sedikit orang yang mengungsi ke luar Timor Leste ketika konflik pertama pecah, lantas tak kunjung pulang meski tanah air mereka sudah merdeka. Ada yang menemukan suaka di negara bekas jajahan Portugal lainnya. Ada yang menumpang pada saudara jauh yang terpencar di Timor Barat, sebelum diam-diam mengambil kewarganegaraan Indonesia. Bahkan tak sedikit yang berakhir di Inggris, di mana diaspora kecil Timor Leste dicari-cari untuk mengemban pekerjaan kasar.
Mereka tidak pulang karena tidak ada alasan untuk kembali. Bahkan yang memilih mudik setelah merdeka dikecewakan oleh kenyataan. Rumah lama mereka sudah habis dibakar, kampung mereka sudah rata dengan tanah, dan ladang mereka sudah rompal dikoyak-koyak mesin berat tentara.
Di pelarian, satu-satunya yang menjaga semangat mereka adalah rasa rindu terhadap rumah. Namun kini sudah tidak ada lagi rumah yang tersisa untuk mereka. Patah hati, tak sedikit diaspora Timor Leste yang memilih untuk bermigrasi lagi, kali ini menuju negara-negara nun jauh di sana dan harapan yang tak pasti.
Keluarga yang terbiasa bergumul bersama perlahan terpisah oleh laut, perbatasan, dan benua. Diaspora Timor Leste terhimpun di Angola, Inggris, Portugal, Australia, bahkan Indonesia. Uang kiriman dari mereka menopang banyak keluarga di Timor Leste yang kesulitan menyambung hidup di tengah keadaan ekonomi yang tak pasti. Saban tahun mereka akan pulang untuk Natal, dengan aksen Tetun yang mulai memudar dan anak-anak yang hanya mengenali Timor Leste sebagai negeri dongeng.
Etson merasakannya sendiri. Setelah gegap gempita kemerdekaan reda, ia dan orang-orang Timor lainnya harus bergelut dengan masalah yang sama seperti dulu. Ekonomi mereka masih ambruk, pekerjaan masih sulit dicari, kemarau mereka masih tak kenal ampun. Timor Leste tetap saja menjadi tanah air yang patah, porak poranda, dan kesulitan mencari arah.
Mereka pikir merdeka berarti merebut kembali segala yang telah menjadi miliknya. Memang benar begitu. Tetapi keterhubungan mereka dengan tanah airnya sudah terlalu lama dikoyak oleh penjajahan dan pengusiran, sehingga seperti pak Nengah bertahun-tahun lalu, mereka harus memulai kembali. Mereka harus babat alas.
Etson tahu ia tidak mungkin bercokol terus di Lospalos. Setelah kemerdekaan, tempat itu berubah serupa kota mati. Ia minggat ke Dili hanya bermodal dengkul dan baju di punggung.








Saban akhir pekan, di sela pekerjaan barunya sebagai guru musik, Etson akan berjalan menyusuri pesisir pantai dan perbukitan yang mengepung Dili. Di sana, ia bereksperimen — mencari benda-benda rongsokan yang akan terdengar nyaring bila dipukul. Koleksi perkusi temuannya mulai menggunung: mulai dari kulit kayu yang terkelupas senjata, keyboard bekas yang hanyut dibawa sungai, hingga tengkorak banteng yang teronggok di antara puing bekas rumah jagal.
Etson membayangkan dirinya serupa bayi, yang mesti dikenalkan pada dunia asing di sekitarnya. Lewat erangan pilu dan pukulan ritmis perkusi, ia mengekspresikan perjalanannya mengakrabi lanskap Timor Leste. Performansnya yang riuh dan liar menjadikannya nama papan atas di kancah musik independen Dili. Teman-teman baru mulai mengelilinginya — sesama seniman dari berbagai matra yang juga resah akan sumirnya masa depan Timor Leste.
Mereka menemukan suaka di tempat yang tidak terduga. Hantu-hantu masa kecil menuntun mereka pada sebuah gedung di belakang kompleks Istana Negara yang terbengkalai dan nyaris rubuh. Gedung itu penuh dekorasi seronok, patung-patung yang menyinggung batin, dan lapangan rumput liar yang tadinya disiapkan untuk upacara bendera. Etson mengingat tempat itu dari kenangan masa mudanya. Dulu, ketika penjajah masih bercokol di Timor Leste, gedung itu didirikan sebagai Museum Pembebasan Timor Timur.
Etson dan teman-temannya membobol pintu gedung itu dan berkelana di dalamnya. Mereka memandangi isinya dengan perasaan mual. Ornamen-ornamen penjajahan, senyum memuakkan penakluk mereka, semua terpampang jelas dari setiap pojok dan dinding. Pada salah satu ruangan, kawan Etson tertawa terbahak-bahak. Rupanya ia menemukan potret Soeharto sedang menatap bangga dari dinding tinggi. Mereka berkumpul di sana seperti hendak misa, lalu bahu membahu menurunkan potret itu dari engselnya.
Sebuah kesepakatan lahir pada malam itu. Bermodal lentera kecil, matras usang, dan perlengkapan melukis seadanya, mereka ramai-ramai menduduki gedung bekas museum tersebut. Tempat itu, yang didirikan sebagai simbol penaklukkan bangsa Timor Leste, perlahan disulap menjadi rumah bersama.
Mereka menemukan cara sendiri untuk babat alas. Mereka gotong royong memperbaiki kamar mandi, menyapu halaman, dan memangkas rumput liar yang tumbuh menenggelamkan lapangan. Kemudian mereka membuka tempat itu pada masyarakat. Kelompok kecil Etson mengundang anak-anak sekolah untuk belajar menggambar, mengajak ibu-ibu setempat untuk membuka kelas tenun, dan meminta musisi jalanan bahu membahu mendirikan panggung dadakan.
Sedikit demi sedikit, tempat itu disucikan dari dosa masa lalunya. Kini ia dikenal dengan nama baru: Arte Moris. Seni yang Hidup.
“Buat hotu sei rahun (Segalanya akan hancur)
Buat hotu sei nakfera (Segalanya akan patah)
Buat hotu sei sai uut (Segalanya akan menjadi debu)
Dubun foun sei mosu, haburas rai tetuk” (Tunas baru akan tumbuh, tanah lapang bermekaran)
— “Burus Rohan Laek” karya Abé Barreto Soares
—
ANGIN TENGGARA tiba dari arah laut, sebelum menerjang kerumunan burung camar yang berdesakan di bibir pantai Banyuwedang. Setiap orang yang letih menggarap sawah dan terlalu lama bergumul merapikan gorong-gorong kini turun beristirahat di teras rumah pak Nengah. Ditempa terik matahari, laki-laki tua itu menanggalkan capingnya dan memandang jauh ke arah perbukitan.
Dua puluh tahun lalu, ia dan bekas transmigran lainnya ditelantarkan di tengah hutan tanpa punya apa-apa selain perkakas sederhana dan pakaian seadanya. Dari keadaan mengenaskan itu, mereka melahirkan desa sederhana yang dapat menghidupi dirinya sendiri dari hasil bumi dan petikan laut. Mereka beranak-pinak di sana, menanam cabai di lereng berbatu, menyulap perbukitan menjadi embung dan jalan raya.
Perasaan haru bergejolak dalam dada pak Nengah. Namun sebentar saja, rasa haru itu ditenggelamkan oleh kekhawatiran.
Beberapa bulan terakhir, petugas dari pemerintah pusat datang silih berganti ke desanya. Mereka tiba dengan fotokopi akta-akta lama dan setumpuk pasal undang-undang yang tak dimengerti pak Nengah. Mulanya begini: setelah mereka direpatriasi ke Indonesia, para bekas transmigran asal Bali Utara ini diberikan kompensasi berupa tanah oleh pemerintah provinsi Bali. Yang luput diberitahu pemerintah provinsi adalah bahwa tanah itu berdiri di atas hutan lindung.
Kini, pak Nengah dan orang-orang sekampungnya terapit. Di satu sisi, mereka memang tidak seharusnya babat alas di areal hutan lindung, apalagi mendirikan perkampungan yang ramai. Namun di sisi lain, mereka bukan perompak yang menduduki tempat itu seenaknya. Tanah itu adalah kompensasi yang diberikan secara resmi oleh pemerintah provinsi bertahun-tahun lalu. Merasa posisi tawar mereka kuat, pak Nengah dan kampungnya naik banding ke pengadilan. Mereka menang, tapi buldoser tetap saja datang mengancam desa.
Pak Nengah menghela napas panjang. Di Timor Leste, dia kehilangan segala-galanya dan harus memulai lagi dari nol. Bila kampungnya ini direnggut juga dari genggamannya, apakah ia masih punya cukup tenaga untuk babat alas lagi?
Angin sepoi-sepoi datang dari arah timur. Pak Nengah tersenyum dan memejamkan mata. Dari lubuk bawah sadarnya, ia teringat akan suasana haru yang terjadi puluhan tahun lalu. Kenangan itu merengkuh sanubarinya seperti air bah.
Panen raya pertamanya. Langkah pertama anaknya. Makanan pertama yang ia masak dengan kayu bakar yang ia himpun sendiri. Dalam sejenak itu, ia dapat menikmati perasaan merdeka dengan bebas, tanpa dicemari oleh kenyataan, pengalaman, dan pahitnya kegagalan.
Kematian telah lama bersemayam paksa dalam takdirnya. Ia ada sejak pak Nengah lahir, menaunginya seperti awan hitam, membuntutinya dari satu kehilangan ke kehilangan lainnya. Pak Nengah bertekad mengenyahkannya. Ini, bisa jadi, adalah belantara terakhir yang harus ia tumpaskan. (*)
aih baru hari Senin su menangis bacanya. sa ingat dulu pernah ada tetangga2 dari Buleleng, datang sekitar awal 2000-an. Kata papa saya, mereka sempat di Timor Leste dulunya